Kamis, 31 Desember 2015

Ketika Tetesan Darah Begitu Berharga

________________________________________________________________________________
70 Tahun PMI Membersamai Negeri
________________________________________________________________________________
Sejak menjadi blogger, saya lebih sering membuka e-mail. Siapa tahu ada pemberitahuan penting. Misalnya, konfirmasi undangan dari brand terkemuka untuk launcing produk terbarunya di Jogja atau Komunitas Blogger Jogja (KBJ) mengadakan suatu event dan mengundang kami para blogger. Beberapa waktu lalu saya membuka e-mail, saya mendapat undangan dari ICRC (International Committe of the Red Cross) yang berada di Jakarta untuk menghadiri Malam Penganugerahan Kompetisi Blog ICRC 2015, berikut TOR (Term of Reference) acara tersebut pada tanggal 18 Desember 2015.

Singkat cerita, sesampainya di Jakarta, tepatnya di Hotel Ambhara, saya disambut dengan hangat oleh Mas Ahmad Nashrullah (@donnassero), selaku panitia acara tersebut. Saya juga mendapat kesempatan untuk mampir ke markas ICRC yang lokasinya tidak begitu jauh dari Hotel Ambhara. 

Saya beruntung, sebab saya bisa mendapatkan hal-hal luar biasa, termasuk pengalaman dan sahabat baru. Selain itu, saya juga memperoleh goodie bag keren yang di dalamnya berisi flashdisk (bertuliskan lambang ICRC), serta buku-buku tentang kemanusiaan dan hukum humaniter internasional. Buku-buku tersebut diterbitkan atas kerjasama ICRC dan PMI. 
Dokumentasi Pribadi : @ArintaSetia. Buku-buku terbitan ICRC dan PMI
Melalui buku-buku tersebut, saya memperoleh knowledge tentang sejarah berdirinya ICRC dan PMI di Indonesia. Juga bagaimana seharusnya penggunaan lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, sesuai dengan aturan yang disepakati dalam konvensi Jenewa. Juga terdapat lambang tambahan selain palang merah dan bulan sabit merah, yakni kristal merah. Setiap negara hanya boleh menggunakan satu lambang saja dan satu kesatuan. Misal nih, kalau di Malaysia namanya Mercy Malaysia (MM), sedangkan di Indonesia ada Palang Merah Indonesia (PMI).
Dokumentasi Pribadi : @ArintaSetia. Sejarah singkat PMI
Tercatat, PMI telah membersamai Indonesia selama 70 tahun. Dari mulai awal berdirinya republik ini hingga kini. Banyak prestasi dan cerita yang telah ditorehkan. Tanggal 17 September lalu, PMI Merayakan kedigdayaannya yang ke-70. Dirgahayu PMI untuk Indonesia. 

Dalam perayaan 70 tahun tersebut, PMI mengadakan pameran dan peluncuran perangko seri 70 tahun PMI. Saya pikir cara tersebut layak diapresiasi. Di era android ini, teknologi telah mengambil alih dan mereduksi cara-cara komunikasi konvensional seperti bersurat menggunakan perangko. Saya khawatir, jangan-jangan kaum muda kekinian tidak tahu perangko itu fungsinya untuk apa? Apalagi istilah filateli! Tahunya kok cuma selfie.

Dalam perhelatan yang berlangsung di Museum Nasional (Jakarta) tersebut, PMI bekerjasama dengan PT Pos Indonesia meluncurkan 2 desain perangko, Dua desain tersebut berupa gambar markas PMI tempo dulu dan gambar ketua umum PMI pertama, Muhammad Hatta. Perhelatan yang berlangsung selama 7 hari, mulai tanggal 10 hingga 17 September ini juga dihadiri oleh wakil presiden Jusuf Kalla.

Kegiatan PMI pun tak melulu berkaitan dengan donor darah. Karena PMI adalah organisasi yang bergerak di bidang kemanusiaan, maka program kerjanya beragam. Mulai dari kampanye peduli AIDS, operasi tanggap darurat saat bencana kabut asap, distribusi air bersih, pelayanan kesehatan saat arus mudik, dapur umum dan evakuasi korban banjir dan masih banyak lagi. Daftarnya akan semakin panjang jika saya sebut satu per satu. Terkadang PMI juga menyelenggarakan event yang dikemas dalam bentuk talkshow, seminar, konser, dan sebagainya untuk sosialisasi program-programnya di bidang pelayanan kemanusiaan. Bahkan PMI menciptakan aplikasi pengetahuan Siaga Bencana dengan sistem android. Jika kamu tertarik, kamu bisa mengunduhnya di Play Store.
_______________________________________________________________________________
KSR PMI UNY : Dari Yogyakarta Untuk Indonesia
_______________________________________________________________________________
"Mbak Arinta, KSR lagi ngadain donor darah lho. Ikutan yuk." Demikian Minanti Arum yang kerap disapa dengan panggilan Arum mengajak saya untuk ikut aksi donor darah. Aksi donor darah ini berlokasi di Student Center (SC) UNY.

Ini bukan pertama kalinya. Sudah beberapa kali Arum mengajak saya untuk ikut aksi donor darah. Arum adalah rekan sekamar saya di kos. Mahasiswi angkatan 2013 yang berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan mengambil konsentrasi di jurusan pendidikan teknik sipil tersebut adalah seorang aktivis di organisasi KSR PMI UNY. Oh, mungkin kamu akan bertanya-tanya. Apa itu KSR? KSR singkatan dari Korps Suka Rela. Sebuah organisasi yang merupakan bagian dari kesatuan unit PMI dan mewadahi minat mahasiwa perguruan tinggi di bidang volunterisme dan aksi sosial kemanusiaan.

Selain diklat dan pelatihan, kegiatan KSR PMI UNY cukup banyak, di antaranya adalah aksi penggalangan dana saat Merapi dan Kelud meletus serta bencana asap di Sumatra dan Kalimantan. Baru-baru ini, organisasi tersebut mengadakan event Siganapraja, aksi Give Blood Give Life, dan talkshow "Relawan Dalam Pendidikan. Siganapraja (Siaga Bencana Palang Merah Remaja) adalah kompetisi yang diperuntukkan untuk PMR (Palang Merah Remaja) wira dan madya di mana pesertanya adalah tim-tim dari SMP dan SMA atau sederajat . Dalam kompetisi tersebut adalah 4 kategori lomba yakni, lomba pertolongan pertama, lomba cerdas cermat, siaga bencana, gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Talkshow "Relawan dalam Pendidikan" 2015  di Gedung Hall Rektorat UNY 
Talkshow "Relawan dalam Pendidikan" menghadirkan pembicara utama H. Muhammad Muas, S.H. Beliau merupakan ketua bidang relawan PMI Pusat. Acara tersebut sangat menarik dan cukup banyak merebut perhatian peserta yang hadir. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan peserta saat berlangsungnya sesi tanya jawab. Sebagai tambahan, ada aksi dan kampanye Give Blood Give Live yang bekerjasama dengan PMI Sleman.
***
Darah. Zat cair kental berwarna merah yang komponen utamanya terdiri dari cairan plasma, sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan butir-butir darah (trombosit) merupakan elemen vital yang sangat penting bagi kehidupan vertebrata (makhluk bertulang belakang). Tak terkecuali manusia. Kekurangan salah satu komponen utamanya bisa berakibat fatal. Apalagi kehilangan berliter-liter sel darah. Seseorang yang menderita leukimia, berarti dia bermasalah dengan sel darah putihnya (leukosit). Begitupun dengan penderita anemia, berarti dia bermasalah dengan sel darah merahnya.

Bicara soal darah, saya jadi teringat kisah seorang sahabat bernama Winarni. Apa yang dia alami sungguh menyentuh hati saya. Membuat saya memahami, betapa betapa berarti darah bagi kehidupan seseorang.
_______________________________________________________________________________
Blood For Win
_______________________________________________________________________________
Namanya Winarni, Kerap disapa Win. Kami pernah bersama selama setahun di kelas X.1 SMAN 1 Wiradesa (2008-2009). Dulu, saya begitu pendiam dan tertutup (introvert). kebalikan dengan Win yang  hangat, supel, dan mudah bersahabat. Terkadang saya ingin seperti Win. Saya cukup mengagumi dirinya. Menginjak kelas XI, Win ditunjuk sebagai ketua Klub KIR (karya Ilmiah Remaja). Di bidang akademik, Win berhasil menorehkan prestasi dalam suatu kompetisi esai ilmiah tingkat karesidenan Pekalongan sebagai juara 1. Keren bukan?

Sudah cukup lama saya tidak bersua dengan Win. Setelah lulus sekolah tahun 2011, saya melanjutkan studi di Universitas Negeri Yogyakarta dan mengambil konsentrasi bidang akuntansi, sedangkan Win memilih bekerja selama 2 tahun di sebuah perusahaan farmasi di Kota Bandung. Baru menginjak tahun 2013, Win memutuskan untuk kuliah di Universitas Jenderal Ahmad Yani dan mengambil konsentrasi di bidang elektro.
***

Suatu ketika Win bercerita pada saya, betapa Win pernah hampir melekat dengan ajal. Mencium tajam aroma kematian.

Peristiwa itu terjadi di tahun 2006, di mana saat itu Win dirawat di RSUD Kraton Pekalongan karena menderita tipus dan demam berdarah. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Kondisinya cukup mengkhawatirkan. Bahkan kadar trombosit turun drastis hingga mencapai 50.000 sel/mm3. Perlu diketahui bahwa kadar normal trombosit untuk orang dewasa adalah 150.000-400.000 sel/mm3, sedangkan untuk anak-anak antara 150.000-450.000/mm3.  Jelas sekali, ini sangat berbahaya bagi Win.

Belum lagi golongan darah Win adalah AB. Di antara 4 golongan darah yang ada (A, B, O, dan AB), golongan darah AB adalah golongan dengan persentase paling sedikit di dunia. Seperti dilansir antaranews.com, pemilik golongan darah ini populasinya tidak lebih dari 7%. Berdasarkan hasil riset, dari 100 orang hanya 2 orang saja yang memiliki golongan darah AB (sumber pmi.or.id). Maka dari itu, di beberapa daerah seperti Yogyakarta ada komunitas khusus yang diperuntukkan bagi mereka yang bergolongan darah AB. Setidaknya, keberadaan komunitas ini membantu memudahkan ketika ada seseorang membutuhkan donor dan transfusi darah.
Kembali ke Win.

Dokter menyarankan Win untuk melakukan transfusi darah. Namun sayang, stock darah AB di rumah sakit dan bank darah PMI Pekalongan saat itu sedang kosong. Dari pihak keluarga tidak ada yang cocok untuk dijadikan pendonor. Bahkan orang tua Win sekalipun!

Win sempat bertanya kepada sang dokter apakah bisa golongan darah AB menerima transfusi dari semua golongan darah. Mengingat seperti yang ada di dalam teks-teks buku pelajaran SD dan SMP yang pernah Win baca, bahwasanya golongan darah AB merupakan resipien universal. Itu artinya golongan darah AB bisa menerima transfusi dari semua golongan darah yang ada. Bukankah secara teori demikian? Namun, dokter tidak bersedia melakukan transfusi. Dokter tidak mau mengambil risiko jika tubuh Win melakukan aksi penolakan akibat ketidakcocokan golongan darah. Dalam dunia medis, transfusi dengan golongan darah yang berbeda tidak diperbolehkan. Jangankan beda golongan darah, satu golongan darah tetapi beda rhesus saja tidak diperkenankan.Win geram, mengapa tulisan demikian masih terdapat dalam teks-teks buku pelajaran. Benar-benar menyesatkan!

Win sudah pasrah. Win sadar konsekuensi. Win tahu bahwa dirinya tak akan bertahan lama di dunia ini. Apa yang Win lakukan kala itu? Selain berdoa, Win mengirimkan sms satu per satu kepada teman-temannya. Win meminta maaf jika ada kata ataupun laku yang kurang berkenan.

Win hampir menyerah di detik-detik terakhir hidupnya. Hingga kabar baik itu akhirnya datang juga. Ada seorang pendonor yang bersedia memberikan darahnya untuk transfusi. Namun, hal itu tidaklah gratis. Sang pendonor meminta harga 3 kali lipat dari harga darah standar. Sesungguhnya hal ini sangat memberatkan keluarga Win yang hidupnya saja sudah sangat sederhana. Tapi, mau gimana lagi? Akhirnya, agar tetes demi tetes darah tersebut mengalir ke tubuh Win, keluarga Win rela menebusnya. Berapapun harga yang dibayar.
________________________________________________________________________________
Berikan Donasi Terbaikmu
________________________________________________________________________________
Maaf jika cerita ini telah membuat sedih. Tapi ini nyata. Ini terjadi pada sahabat saya Win. Saya berharap kamu tidak mengalami seperti apa yang Win alami. Pun pada keluarga dan juga sahabatmu. Maka dari itu saya mengajak kamu dalam aksi Ayo Peduli Bantu Sesama dalam rangka Bulan Dana PMI.

Donasi yang kamu berikan tidak hanya dalam wujud donor darah, bisa juga uang. Berikan donasi terbaikmu. Saya berharap donasimu bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan. Kamu bisa melakukannya melalui bank-bank berikut ini :

  • Bank BCA Kantor Cabang Utama Thamrin Nomor Rekening : 206-38-1794-5 atas nama PMI DKI JAKARTA Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
  • Bank MANDIRI Kantor Cabang Kramat Raya Nomor Rekening : 123-00-17091945 atas nama PMI DKI JAKARTA Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta.
  • Bank DKI kantor Cabang Utama Juanda Nomor Rekening : 101-03-17094-7 atas nama PMI DKI JAKARTA Panitia Bulan Dana PMI Provinsi DKI Jakarta. 

Selasa, 15 Desember 2015

EDP Project Jogja : Atasi Demam Berdarah Melalui Wolbachia

_______________________________________________________________________________
Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa kini sudah memasuki Bulan Desember. Sudah hampir 4 tahun lamanya saya berada di Yogyakarta, Menikmati romantisme masa-masa menjadi anak kuliahan. Bergelut dengan tugas-tugas. Banyak hal juga telah saya lalui. Jogja diguyur hujan deras Desember ini. Lapis demi lapis kumulonimbus tak ubahnya seperti gumpalan-gumpalan kapas yang terbang di langit. Terkadang menimbulkan mendung yang gelap dan pekat. Terkadang pula menjatuhkan jarum-jarum tajam dari langit. Juga petir yang menggelegar. Ah, hujan Bulan Desember. 

Hujan Bulan Desember ini mengingatkan saya pada seorang kawan yang pernah dirujuk ke RS Sardjito karena menderita demam berdarah. Kala air menderas dari langit. Menimbulkan bunyi gemerisik. Juga kecipak-kecipuk langkah-langkah kaki karena jalanan tergenang air. Menjadikan sebagian orang memilih berdiam diri di rumah. Mendekam dalam selimut. Sedangkan kawan saya ini merasakan nyeri di hampir sebagian tubuhnya. Demam hebat yang tak berkesudahan. Mimisan. Muntah-muntah disertai timbulnya bintik merah di sepanjang kulit. Saya bergidik ngeri jika teringat akan hal itu. 

Yogyakarta merupakan wilayah endemik terjangkitnya penyakit demam berdarah. Seperti dilansir sorotjogja.com, memasuki kuartal pertama di tahun 2015 ada 3 daerah yang rentan terhadap serangan DBD (Demam Berdarah Dengue).  Ketiga daerah itu adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan Tegalrejo, dan Kecamatan Ngampilan. Fitri Yulia Kusworoni selalu Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogya menyatakan bahwa terdapat kenaikan jumlah pasien DBD yang dirawat di puskemas yang pada tahun 2014 ada 19 kasus, pada tahun 2015 naik menjadi 90 kasus. Ini baru wilayah Kota Yogya. Bagaimana dengan wilayah lain seperti Sleman dan Bantul yang juga rentan terhadap kasus ini?

Demam berdarah (demam dengue) adalah salah satu momok yang ditakuti masyarakat. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Dengue melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Demam dengue mengancam hampir 2.5 miliar penduduk bumi. Kasus tertinggi menimpa wilayah ASEAN, termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) setiap tahun sekitar 390 juta orang terinfeksi dengue. Sebanyak 22.000 orang terutama anak-anak dan remaja meninggal dunia. Bagaimana dengan di Indonesia? Angkanya meningkat, di mana pada tahun 2012 jumlah kasus 90.245 menjadi 105.545 kasus pada tahun 2013.

Hal umum yang dilakukan warga untuk mengantisipasi merebaknya DBD yakni dengan menjaga lingkungan agar terkondisikan bersih. Pemerintah melalui dinas kesehatan tak henti-hentinya menghimbau agar warga melakukan gerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui aksi 3 M (Menguras, Mengubur, dan Mengubur barang bekas yang sudah tidak terpakai). Ada pula istilah ikanisasi (menempatkan ikan-ikan di bak mandi atau kolam agar ikan-ikan tersebut memakan jentik-jentik nyamuk) dan larvasidasi (membunuh larva-larva nyamuk Aedes Aegypti dengan menggunakan abate). Selain itu, ada pula tindakan fogging (pengasapan). Tempat tinggal saya yang letaknya persis di depan Fakultas Teknik UNY di mana dilalui Selokan Mataram juga tak luput dari aksi fogging tiap tahunnya.

Namun apakah cara-cara lama ini cukup efektif mengurangi kasus-kasus terkait DBD? Hey ini sudah tahun 2015! Maksud saya adakah suatu terobosan di dalam sains, terutama di bidang biologi sel & molekuler, bioteknologi dan rekayasa genetika yang mampu menciptakan suatu vaksin yang menghambat transmisi virus dengue dari nyamuk ke manusia? Membuat telur-telur nyamuk menjadi infertil misalnya? Memperpendek usia hidup nyamuk yang menjadi inang virus dengue?
Pada tanggal 1 Desember 2015, saya bersama rekan-rekan Komunitas Blogger Jogja (KBJ) mendapat undangan dari EDP (Eliminate Dengue Project) Yogyakarta untuk mengunjungi insektarium dan laboratorium diagnosis di mana terdapat fasilitas riset untuk meneliti nyamuk Aedes aegypti. Fasilitas riset ini cukup lengkap. Di dalamnya terdapat tempat penetasan telur-telur nyamuk berukuran kurang lebih 50 mikron di mana telur-telur tersebut hanya dapat dilihat melalui mikroskop elektron.
Documentation : Paulus Enggal
Fasilitas riset EDP Yogyakarta dilaksanakan di bawah naungan Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) dan didanai oleh Yayasan Tahija Jakarta (organisasi filantropi nonprofit yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga pelayanan sosial). Dalam riset ini, UGM menjalin kerjasama dengan Monash University di Australia. Untuk EDP global melibatkan sejumlah negara seperti Australia, Vietnam, Brazil, Singapura, Colombia, termasuk Indonesia. Ini proyek riset prestius yang digarap serius, berbiaya mahal, melibatkan sejumlah ahli dan peneliti dari berbagai negara serta membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk pengujiannya. 

Ada hal yang menarik dalam proyek riset ini. Ternyata para peneliti menggunakan bakteri Wolbachia untuk mengendalikan virus dengue. Ini penemuan menarik dan melibatkan multidisiplin ilmu seperti bioteknologi, virologi, bakteriologi, entomologi, dan juga biologi molekuler. Bahkan saya berusaha mencari jurnal-jurnal ilmiah terkait penelitian ini.

Tentu saja riset tentang wolbachia cukup banyak menyedot perhatian saya. Pernah mendengar Wolbachia sebelumnya? Baiklah saya akan sedikit bercerita. 
________________________________________________________________________________
Perjalanan Panjang Si Wolbachia dan Kisah Sang Profesor
________________________________________________________________________________
A lot of science involves failure, but there are also the brilliant successes, successes that can lead to new inventions, new tools, new drugs — things that can change the world (Anonim)
Terkadang kisah sukses seseorang lahir dari sebuah gagasan sederhana. Sebuah inovasi yang menghadirkan solusi. Juga perjalanan panjang yang melelahkan. Demikian pula yang dialami Profesor Scott O'Neill ketika mengupayakan penemuannya di bidang ilmu biologi. Sebuah terobosan di bidang sains yang menghadirkan solusi mengatasi virus dengue. 

Sang profesor kala itu tertarik pada bakteri Wolbachia pipiens. Bakteri ini pertama kali ditemukan di dalam tubuh nyamuk Culex pipiens pada tahun 1920. Bakteri Wolbachia terdapat di hampir 60% hingga 70% serangga seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang, dan nyamuk, tetapi tidak pada nyamuk jenis aedes aegypti yang merupakan inang virus dengue. 

Wolbachia dapat dikatakan sebagai bakteri parasit yang menginfeksi sistem reproduksi serangga sehingga mempengaruhi kelanjutan garis keturunan mereka. Terdapat hubungan yang cukup kompleks antara sang inang (serangga) dengan bakteri wolbachia. Reaksi infeksi bakteri ini dengan serangga terhadap garis keturunan selanjutnya pun beragam. Bakteri ini bisa menyebabkan kematian jantan yang terinfeksi, siklus atau usia hidup serangga yang pendek, ketidaknormalan reproduksi yang berujung pada kematian dini embrio. Dalam penelitiannya, Sang Profesor juga melaporkan bahwasanya wolbachia juga mampu menghentikan duplikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. 

Profesor O'Neill kini menjabat sebagai dekan fakultas sains di Monash University Australia. Sebelumnya beliau menyelesaikan program doktoralnya di bidang entomologi (ilmu serangga)  di Queensland University. Beliau juga pernah bekerja di Yale Medical School sebagai ketua grup biologi yang mempelajari serangga pembawa penyakit. 

Apa yang dikerjakan oleh Profesor O'Neill di dalam labnya juga pernah tidak membawa hasil apapun. Membuatnya stress dan tertekan. Setidaknya 20 tahun hidupnya dihabiskan untuk penelitian ini. Profesor O'Neill menggunakan teknik injeksi mikro untuk menyuntikkan wolbachia dalam telur nyamuk. Saya membayangkan seberapa kecil ukuran jarum yang digunakan. Apakah pakai skala mikro atau nano? Teknologi yang digunakan pasti mengagumkan.

Rekan sejawatnya, Tom Walker menghabiskan hari demi hari di lab hanya untuk menyuntikkan wolbachia ke lebih dari 500 telur setiap harinya. Walker kemudian menunggu dengan sabar hingga telur tumbuh menjadi nyamuk dewasa dan memastikan apakah nyamuk-nyamuk dewasa tersebut terinfeksi wolbachia. Namun hasilnya nihil. Tak ada nyamuk yang di dalamnya mengandung bakteri wolbachia. Tingkat keberhasilan penelitian ini sangat rendah, ujarnya suatu ketika. Bahkan Walker telah menyuntik 18.000 telur tanpa ada tanda-tanda bahwa telur-telur tersebut di dalamnya mengandung bakteri wolbachia. Ah, kisah ini mengingatkan saya pada Thomas Alfa Edison.

Suatu ketika di tahun 2006, setelah hari-hari yang dilalui membuat jenuh dan menghilangkan semangat, kabar gembira itu akhirnya datang. Salah seorang mahasiswa O'Neill berkata bahwa dia telah berhasil menginjeksi telur, hingga telur yang mengandung bakteri wolbachia tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Ini seperti momen eureka! Sang mahasiswa tersebut menularkan ledakan optimisme kepada Sang Profesor.
Proses ini belumlah usai. Profesor O'Neill harus menguji sampel penelitian di lapangan. Nyamuk-nyamuk yang mengandung bakteri wolbachia dilepasliarkan di daerah yang rentah terhadap DBD agar kawin dengan nyamuk setempat yang mengandung virus dengue. Tujuannya untuk mengetahui seberapa efektif pengendalian wolbachia terhadap virus dengue dan juga bagaimana hasil kawin silang dua varietas nyamuk tersebut (nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia dengan nyamuk aedes aegypti pembawa dengue) terhadap garis keturunan selanjutnya. Tempat uji coba pertama kali dilakukan di Yorkeys Knob dan Godonvale, Queensland pada tahun 2011. Penelitian ini juga mendapat dukungan dana dari Bill and Melinda Gates Foundation
________________________________________________________________________________
Tahija Foundation dan Eliminate Dengue Project (EDP) Jogja 
________________________________________________________________________________
Jika di tingkat global proyek riset Eliminate Dengue didanai oleh Bill and Melinda Gates Foundation, di Indonesia aksi ini didukung penuh oleh organisasi filantropi Yayasan Tahija Jakarta. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, organisasi ini bergerak di bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan. Organisasi ini didirikan oleh Jean dan Julius Tahija pada tanggal 21 Maret 1990. Bunga Cinnamomum tahijanum (kayu manis liar) yang berasal dari Kalimantan menjadi simbol organisasi ini. Simbol  Cinnamomum tahijanum mereprentasikan empati, persamaan, dan keberagaman.

Dalam Annual Report 2014, organisasi ini melaporkan bahwa pada tahun 2013 mereka berhasil menyiapkan landasan operasional untuk pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia di Yogyakarta. Pada Januari 2014, pelepasan perdana nyamuk dilakukan di Desa Kronggahan dan Nogotirto, Kabupaten Sleman. Tantangan yang dihadapi tim EDP Jogja kala itu adalah bagaimana mensosialisaikan kegiatan ini kepada masyarakat. Tantangan yang lain adalah letusan Gunung Kelud pada Bulan Februai 2014, tetapi hal ini tidak menyebabkan gangguan signiikan pada proses kegiatan pelepasan nyamuk. Pada Desember 2014, tim EDP Jogja melakukan kegiatan serupa di dua wilayah yang ada di Kabupaten Bantul.

Bahkan Sri Sultan Hamengkubuwono X memberikan dukungan penuh pada kegiatan EDP Jogja. Selain dari pemerintah daerah, komisi etik Kedokteran Universitas Gajah Mada juga memberikan feed back dan bimbingan etis terhadap kegiatan EDP Jogja. Kegiatan pelepasan nyamuk ber-wolbachia pada tahun 2014 adalah bukti keberhasilan kerjasama antara Yayasan Tahija, tim EDP dari Monash University dan Universitas Gajah Mada.
Saya sendiri sangat antusias ketika mendapat undangan dari EDP Jogja. Ini kesempatan langka! Tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan ini. Di insektarium tersebut, saya bisa menyaksikan bagaimana telur nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia menetas. Tentu saja saya melihatnya dengan bantuan mikroskop elektron. Di insektarium tersebut kami berdiskusi mengenai isu DBD. Saya mendapat pemahaman baru dan juga knowledge yang berharga. Ini keren!

Indonesia juga punya ahli entomologi (ilmu serangga) lho, beliau bernama Pak Warsito Tantowijaya Ph.D. Pak Warsito inilah yang mengajak kami tour de lab dan menjelaskan proses penangkaran nyamuk-nyamuk ber-wolbachia. Sedangkan Mbak Bekti Dwi Andari, MA. selaku stakeholder engagement coordinator menjelaskan tentang nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia ini kepada audience melalui slide presentasi dan video singkat. Peneliti utama EDP Jogja adalah Prof. dr. Adi Utarini, MPH., Ph. D. dan peneliti pendamping dr. Riris Andono Ahmad MPH. Ph. D.

Eliminate Dengue Project Jogja juga tergabung dalam IDAMS (Internasional Research Consortium on Dengue Risk Assesment, Management, and Surveillance) yang merupakan konsorsium penelitian 8 negara di Asia dan Amerika Latin. Diharapkan, penelitian ini mampu menekan risiko dan kasus yang disebabkan oleh virus dengue. Semoga!

Yogyakarta, 15 Desember 2015