Jumat, 31 Juli 2015

Sebuah Rasa Yang Enggan Kusebut

"Gue heran, kenapa sih loe mendadak membatalkan janji dengan klien bro? Loe tau kalau klien kita ini siapa? Reputasi kita bisa naik kalau bekerjasama dengan mereka, eh loe malah cancel begitu aja. Dan memilih pergi ke Jogja... Ada apa sih? Loe udah enggak doyan duit apa?"

Serbuan pertanyaan sengit dari Ferdy tidak Simon gubris. Iya Simon bukannya tidak tahu mengenai hal itu. Betapa klien satu ini begitu sangat berarti bagi nafas perusahaannya, Alfa Engineering & Consulting, sebuah perusahaan yang bergerak  di bidang kontruksi dan perencanaan bangunan. Tapi Simon tahu bahwa keputusannya sudah tepat. 

Uang bisa dicari...

Begitulah pikiran Simon. Ah ya, Simon memiliki segalanya. Ketampanan. Kekayaan. Kecerdasan. 

Simon adalah tipikal pria yang gigih. Bahkan semenjak bangku kuliah kegigihannya sudah terlihat melalui sederatan prestasi dan juga penghargaan yang pernah diraihnya. Simon pun tercatat pernah menjabat sebagai ketua himpunan mahasiswa teknik sipil dan juga ketua BEM universitas. 

Selain cerdas dan berbakat, penampilan fisik juga mendukung performanya. Tubuhnya yang atletis dengan tinggi 174 cm dan tampang yang rupawan membuat Simon digandrungi gadis-gadis. Ini memang anugerah. Pesona Simon di bidang leadership begitu kuat. Kharismanya pun memikat. 

A perfect student. Ganteng. Memikat. Cerdas. IPK cumlaude. Kebanggan fakultas. Ah padahal sangat sulit bagi mahasiswa teknik sipil untuk meraih IP tinggi . Namun, stigma itu tak berlaku bagi Simon. 3,77. Yups Simon berhasil meraih poin tertinggi seangkatan dan berhasil melampaui peraih tertinggi 7 tahun silam yakni 3,53.

Simon disegani dosen dan sesama rekannya. Bahkan beberapa dosen mempercayakan proyek-proyek kecil kepada Simon. Mulailah Simon menjadi drafter. Membuat desain 2D dan 3D menggunakan Autocad. Terkadang juga menggunakan Google Sketchup. Dosen-dosen tersebut sangat puas, ingat SANGAT PUAS, dengan hasil kerja Simon. Selain rancangan gambarmya bagus dan detail, kinerja Simon cepat. Para dosen tersebut tak hanya memberi poin plus untuk Simon, tetapi juga fee yang cukup menggiurkan untuk ukuran mahasiswa biasa. Fee tersebut cukup untuk mengongkosi biaya hidup Simon selama satu semester. Wuihhh jika teman kosnya tahu mengenai hal ini, bisa-bisa Simon 'dijarah' setiap hari. 

Memasuki semester ke enam, seorang dosen menawarkan Simon magang di perusahaan jasa arsitektur, Urbane Space Indonesia. Perusahaan ini bergerak di bidang desain, perencanaan properti dan tata kota. Semenjak bergabung di Urbane Space, reputasi Simon menanjak. Simon dipercaya pihak developer untuk merancang proyek-proyek prestisius di Yogya dan Magelang. Mall. Rumah sakit. Kantor. 

Simon pun lulus kuliah. Empat tahun berkarir di Urbane Space membuatnya cukup untuk mendirikan bisnis. Pengalaman, keahlian, dan juga motivasi yang tinggi membuatnya yakin akan jalan yang dipilihnya itu. 

"Goblok kamu Mon! Semua orang berjuang mati-matian agar bisa diterima di Urbane, eh kamu yang sudah dapat karir mentereng malah pengin keluar!" Tegas Roy, kakak senior Simon yang kala itu mengambil program magister arsitektur di UII. "Yakin kalau aku jadi kamu aku enggak bakalan ngelakuin hal bodoh itu!" 

Simon hanya diam kala itu. 

"Memangnya kalau mendirikan bisnis itu mudah?"

"Emang modalmu berapa udah berani mimpi tinggi?" 

Dan sejuta argumen agar Simon menyerah. Simon sadar, ada sedikit sesal di batin Roy dan secuil rasa iri karena Roy dulu tidak lolos talent recruitment di Urban Space. Roy juga gagal saat mengikuti seleksi pegawai negeri di Dinas Pekerjaan Umum. Roy mewanti-wanti agar Simon mempertimbangkan kembali pilihannya agar tidak keluar dari Urbane. Di balik sikap Roy yang tegas dan keras itu, sebenarnya ada kepedulian seorang sahabat.

Kini usia Simon telah menginjak 34 tahun. Terbukti pilihan Simon keluar dari Urbane Space 8 tahun silam dan mendirikan bisnis sendiri adalah keputusan yang tepat. Meski awalnya Simon cukup berdarah-darah dalam memperjuangkan mimpinya. 

"Pak kita sudah sampai..." Kata-kata driver taksi menyentak kesadaran Simon. Simon mengelap kening dengan telapak tangannya. Meskipun kondisi pendingin udara taksi tersebut dalam kondisi baik, keringat dingin terus mengucur. Ah entahlah, mungkin kondisi Jogja sedang panas-panasnya saat ini. Atau suasana batin Simon yang tidak cerah hari itu membuat keringat dingin terus mengucur? 

Simon tiba di sebuah hotel berbintang lima di kota gudeg Yogya. Cukuplah bagi Simon untuk merebahkan badan. Melepaskan penat-penat dan beban yang menggelayut di dada. Simon tak sabar menunggu hari esok. Simon berharap hari segera berlalu. 

"Kenapa sih Mon loe mendadak ke Jogja? Enggak pake pemberitahuan sebelumnya?" Kata-kata Ferdy masih membekas di hati Simon. 

Sorry Fer, i know the client is very important for the business, but i have something more important too. It has nothing to do or have any relation to the business. But... 

"Maaf pak ada yang bisa saya bantu." Seorang resepsionis muda dan cantik menyapanya ramah. 

"Saya pesan satu kamar malam ini. Saya pesan kamar di lantai 2 dengan balkonnya menghadap timur." 

"Oh ya masih ada kamar di lantai 2 seperti yang Bapak pesan. Room 222." 

Sang resepsionis menyerahkan kunci kamar. 

But Ferdy i want to meet someone here. Someone special that made me melted when i was beside her. Maybe it is the chance i can see her again. Some years ago i made mistake and i had to lost someone very important in my life. By the time, i lost her contact. Her facebook, twitter, BBM was inactive. I feel depressed.... 

Lift terbuka. Ferdi telah sampai di lantai 2. Ferdi menelusuri angka-angka. Room 222. Aha! Akhirnya ketemu juga. 

I did not know where she was. 

Sampai sebuah notifikasi di chat box facebook datang. Sebuah pesan dari Vanya. 

Halo Simon, ah entahlah berita ini penting atau enggak bagi Loe. Tapi gue dapat kabar kalau Kassandra akan di Jogja tanggal 22 besok. Sori ya gue mendadak ngabarinnya ke Loe. Abaikan pesan ini jika sudah enggak berarti bagi Loe. 

Bersamaan dengan itu Vanya mengirim sebuah pamflet. Dalam pamflet tersebut terdapat informasi lengkap dalam rangka apa dan di mana Kassandra akan berada pada tanggal 22. 

Dan tanggal 22 itu adalah besok. Simon pun bingung tak tahu harus berkata apa ketika bertemu Kassandra. Atau Simon hanya bisa memandang Kassandra dari jauh. Mengetahui bahwa Kassandra baik-baik saja cukup membuatnya lega. 

Sandra... apakah kamu sudah menikah? Ah sudah lama ya... Sandra, it seems so hard, tetapi enggak tahu kenapa aku masih memikirkanmu. Aku belum bisa melupakanmu...

Sesampai di kamar 222, dinyalakan lampu. Dihempaskan tubuhnya di atas ranjang yang empuk. 

Simon ke Jogja tanpa persiapan. Tak ada ransel atau koper selayaknya orang bepergian. Pakaian yang dibawa adalah yang masih melekat di badannya. 

Simon mengambil amplop berwarna cokelat krem dari saku celananya. Amplop cokelat krem itu berisi sebuah surat. Sebuah surat yang ditulis oleh Kassandra.

Ferdy, this was the big reason why i decided to go to Jogja. Simon membatin.

                                                                     ***
(BERSAMBUNG)